Obrolan Rumah
Shafiq
mulai membangun rumah ini empat tahun lalu, waktu itu aku bilang padanya
kira-kira apa bisa menyewa lahan dalam kontrak beberapa tahun di daerah yang
berada di dataran tinggi atau di bawah kaki pegunungan untuk kultivasi tanaman
herba yang aku perlukan dalam penelitian. Tidak aku duga ternyata Shafiq
langsung membeli sebuah lahan yang masih berada dalam wilayah Meunasah Blang
Cot tempat keluarga besarnya bertempat tinggal. Kemudian ia mulai tinggal
disana dengan membangun sebuah rumah kecil.
Sekarang
rumah tersebut sudah dibangun dengan baik. Pada lantai atasnya dibuat
perpustakaan dan tempat penelitan antariksa, Shafiq seorang Astronom. Ia
mengamati bintang, peredaran bulan, penentuan iklim dan musim serta pergerakan
benda langit lainnya.
Beberapa
peralatan laboratoriumku terlihat menyempil diantara charta-charta dinding
antariksa miliknya. Shafiq bilang padaku nanti kami akan membuat laboratorium
kecil di rumah kalau aku sudah menyelesaikan studi farmasiku. Berkali-kali
Shafiq bilang padaku, ia akan mendidik anak-anaknya menjadi orang yang memiliki
Ilmu Pengetahuan juga Agama. Pada zaman sekarang hal tersebut tidak bisa didapatkan
di sekolah umum yang sistem pendidikannya tidak ditujukan untuk membentuk
pribadi muslim yang kokoh.
“Aku
akan mendidik anakku di rumah, memberikannya dasar pengetahuan agama yang
dikuatkan dengan ilmu pengetahuan. Setelahnya ia dapat pergi dan mencari guru,
memulai perjalanan hidupnya sendiri. Tetapi dasarnya, aku yang akan mendidiknya
sendiri” ujarnya beberapa tahun lalu sewaktu ia merasa benar-benar kecewa
dengan sistem pendidikan di Indonesia.
“Kamu
yang akan mendidik anak-anakku kelak, sanggup?” tanya Shafiq padaku, waktu itu
aku tidak langsung mengiyakan. Pendidikanku sendiri belum selesai bagaimana aku
merasa mampu untuk dapat mendidik anak-anakku.
Sebelum
memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Basel, aku berusaha untuk menyelesaikan
pendidikan Farmasiku di Medan. Tetapi kurikulum yang ditawarkan disana serta
kompetensinya sangat jauh dari apa yang aku inginkan. Karena itu aku memutuskan
untuk melanjutkan kuliah di Basel sambil menulis beberapa tulisan ilmiah
mengenai obat-obatan juga beberapa tulisan fiksi yang berkaitan dengan kondisi
sosial politik di Aceh. Selain merupakan seorang ilmuwan, aku juga seorang
penulis.
Selesai
shalat maghrib berjama’ah aku kemudian menyiapkan makan malam. Fillet daging
ikan gabus yang ditangkap oleh Shafiq di kolam belakang. Aku goreng dengan
bumbu kecap dan tumis daun labu. Juga membuat jus semangka lemon dengan daun
basil segar. Hampir semua bahan makanan di rumah ini diperoleh dari halaman
sendiri. Sebagian lagi dapat di peroleh di pasar yang memang agak jauh dari
rumah, tetapi biasanya ada pedagang yang membawakan sayur dan ikan yang berkeliling
hingga ke pelosok.
Shafiq
melanjutkan tilawah setelah selesai shalat Maghrib. Setelah selesai menyiapkan
makan malam, adzhan Isya kemudian berkumandang. Aku langsung berwudhu dan
kemudian menunaikan shalat Isya berjama’ah berimam pada Shafiq. Biasanya ia
shalat Maghrib dan Isya di masjid, tetapi karena aku baru kembali dari Geneva,
ia mendirikan shalat berjama’ah di rumah.
Aku
menyiapkan makan malam di meja luar, dekat dengan taman samping rumah. Dapurku
penuh dengan peralatan laboratorium untuk destilasi dan kromatografi tanaman
obat serta perkakas perkebunan milik Shafiq. Makan malam di meja luar menjadi
pilihan yang cukup romantis dibandingkan di dapur yang penuh dengan peralatan
dan perkakas.
“Kenapa
tidak bisa mendirikan laboratorium penelitian di rumah saja?” tanya Shafiq
padaku sambil mulai menyantap makan malamnya.
“Kalau
di Banda Aceh bisa bekerja dengan banyak ilmuwan lain yang juga tertarik dalam
pharmaceutical research. Kalau disini, aku hanya bisa berdiskusi tentang cincin
Saturnus atau Asteroid PS10U” ujarku pada Shafiq.
“Gak
pernah dengar ada Asteroid dengan nama PS10U” jawab Shafiq membantah
pengetahuanku yang asal-asalan mengenai Astronomi.
“Itu
nama Asteroid untukku” ujarku otoritatif.
“PS10U?
Siapa yang mau kasih nama Asteroid seperti itu?” tanya Shafiq balik yang
seperti pura-pura tidak mengerti dengan bahasa sandi yang aku berikan. Aku dan
Shafiq sering seperti itu, menggunakan bahasa ilmiah, sandi dan kode dalam
pembicaraan kami. Aku kemudian menekuk wajah dan menyeruput jus semangka basil.
Juga berpura-pura tidak mengerti dengan pembicaraan kami.
“PS10U2”
ujar Shafiq akhirnya.
(dibaca, ps I love you too. Red-)
Aku
kemudian tersenyum kecil dan menggenggam tangannya.
“Jangan
pergi kemana-mana lagi. Di Sigli juga banyak ilmuwan yang bekerja di bidang
riset tanaman obat dan pangan” jawab Shafiq. Aku kemudian mengiyakan apa yang
dikatakannya.
“Tapi
masalahnya…” ujar Shafiq kemudian.
“Mereka
bekerja untuk pemerintah Indonesia” ujar kami berdua secara bersamaan.
Aku
dan Shafiq kemudian tersenyum menyadari kesamaan kami berdua. Aku dan Shafiq
merupakan ilmuwan yang mendukung Kemerdekaan Aceh. Hal ini juga yang
menyebabkan Shafiq enggan untuk menjadi pegawai negeri sipil, bekerja sebagai
dosen di perguruan tinggi negeri dan tunduk pada pemerintah Indonesia. Walaupun
sudah ada peralihan atau akuisisi kepemimpinan pada sistem pemerintahan dan
kepegawaian di Aceh, tetapi kondisinya masih sangat tumpang tindih. Sangat
membingungkan bagi ilmuwan seperti kami berdua terutama dalam hal penelitian
yang membutuhkan keseriusan dan keadaan yang tenang.
“Apa
di Banda Aceh ada ilmuwan yang dapat terang-terangan menyatakan kalau mereka
mendukung Kemerdekaan Aceh? Apalagi dalam kondisi sekarang setelah kesepakatan
damai telah disetujui dan semua pemimpin Aceh telah menyerah?” tanya Shafiq
padaku.
“Rencana
Allah tidak ada yang dapat menentukan. Ketika masih ada mereka yang ruku’ dan
sujud dengan Lillaahi Ta’ala dan memohon kepada Allah untuk ditetapkan pada
Fisabilillaah, kita semua akan berada pada jalan yang sama” jawabku.
“Mungkin
belum ada Ilmuwan Aceh yang berani untuk menyatakan seterang-terangnya membela
Kemerdekaan Aceh, tetapi aku yakin di dalam hati setiap Aneuk Nanggroe,
cita-cita akan sebuah Negara Islam yang merdeka itu tidak akan pernah hilang”
jawabku, “Dan setiap orang dapat berjuang, jihad di jalan Allah, dengan cara
yang mereka tahu. Bekerja, belajar…, berjuang secara diplomasi atau mengangkat
senjata” ujarku lagi.
“Tetapi
keadaannya akan sangat sulit” ujar Shafiq sambil menuangkan air minum untukku.
“Aku
belum tahu lagi bagaimana rencana ke depannya. Kalau hanya dapat memutuskan
untuk menegakkan Syariah Islam di dalam Nanggroe tanpa ada diplomasi politik
yang baik dengan negara-negara lain, Aceh akan seperti katak dibawah tempurung,
terkungkung dan tertinggal” ujarku.
“Apa
ada kabar dari Iran?” tanyaku pada Shafiq yang banyak memiliki teman-teman
ilmuwan dari Iran.
“Seperti
yang sudah sama-sama kita ketahui, penghianat dan penghasut berada dimana-mana,
menyebar terror dan membuat perpecahan di antara sesama muslim yang berusaha
untuk menegakkan Syariah Islam. Aku seperti tidak melihat jalan lain, selain
berusaha mempertahankan wilayah walaupun harus menjadi seperti katak dalam
tempurung” ujar Shafiq. “Karena aku sudah dapat membedakan antara jalan yang
gelap dan terang. Aku sudah tidak mau lagi menempuh jalan yang gelap, jalannya
sudah sangat jelas untukku” terang Shafiq.
“Menetapkan
mukim untuk dapat mendirikan Shalat, bersama-sama dengan muslim lainnya
membentuk masyarakat Islam. Kemudian membina keluarga dan anak-anakku di dalam
Islam.”
“Disini,
di Aceh” ujar Shafiq. “Aku tidak tahu, apakah engkau istriku, memiliki tujuan
yang sama denganku?” tanya Shafiq padaku dengan tegas.
Beberapa
saat aku hanya bisa terdiam. Sangat lama untuk dapat menjawab pertanyaan Shafiq
dan mungkin aku belum mampu untuk dapat menjawabnya sekarang.
Masih
ada studi farmasi yang harus aku selesaikan. Ilmu yang aku peroleh hanya dapat
bermanfaat jika lengkap, oleh sebab itu aku masih harus menyelesaikan studiku
di bidang obat-obatan. Walaupun dalam situasi konflik politik yang masih sangat
menekan. Juga seperti ada panggilan untuk dakwah, jihad dengan cara yang aku
tahu, dengan menulis.
Mungkin
jihadku belum sampai. Mungkin perjalanan hijrah yang harus aku tempuh masih
sangat jauh. Aku sangat berharap Shafiq dapat menungguku.
“Aku
tunggu..” ujar Shafiq sambil menggenggam tanganku seperti sangat mengerti
dengan apa yang aku pikirkan.
Ya
Allah, tetapkanlah jalan kami berdua dalam jalan-Mu.
Ad-Dhien Al-Islam.
No comments:
Post a Comment