Murraya Blossom
Dua
hari lalu sewaktu aku mendapat telepon dari Ummi, aku bilang akan mencoba
tinggal di Banda Aceh sampai bulan Februari untuk mempelajari kemungkinan
mendirikan laboratorium penelitian di Banda Aceh, tetapi ternyata setelah
melewati awal tahun tidak terlihat juga ada persiapan untuk pulang ke Medan,
aku malah menghabiskan waktu berlama-lama di Sigli. Justru rak sepatuku malah
penuh dengan beberapa pasang heels baru serta long black dress. Seharusnya
kalau aku belum pasti memutuskan untuk tinggal di Banda Aceh, aku tidak perlu
berbelanja banyak keperluan disana. Tetapi merepotkan sekali kalau harus
menggotong wardrobe kesana kemari. Makanya aku membeli beberapa pasang pakaian
dan sepatu di Banda Aceh untuk menghadiri beberapa acara formal dan resmi. Kalau
di Geneva biasanya disebut Little Black Dress. Tetapi di Banda Aceh, jadi Long
Black Dress. Juga beberapa gaun panjang yang aku beli untuk acara-acara sosial
di Banda Aceh. Evening Garden Party disini juga harus mengenakan gaun panjang
dan tentu saja jilbab. Aku mungkin akan terlihat sangat aneh jika mengenakan
summer sackdress dan flip flop, walaupun di Banda Aceh sepanjang tahun adalah Summer.
Kecuali pada saat curah hujan sangat tinggi dan waktu-waktu seperti itu aku
hanya ingin berada di rumah dengan segelas teh hangat.
Karena
waktu sepertinya sama sekali tidak beranjak ketika aku berada bersama Shafiq
disini.
Di
Rumah.
Beberapa
bibit kemuning yang diberikan Ummi sudah aku semai awal tahun lalu. Tahun ini
secara pribadi aku telah memutuskan untuk menggunakan penanggalan Hijri. Hal
tersebut disarankan oleh Shafiq yang mempelajari Astronomi.
“Pelajarilah
hilal bulan, lebih tepat tanpa harus menggunakan teropong bintang ataupun
teleskop. Hanya dengan melihat bentuk bulan, kita dapat langsung memperkirakan
tanggal. Gunakan penanggalan Hijri” ujar Shafiq tahun lalu ketika ia sedang
berada di Gayo untuk pengamatan hilal.
“Selain
itu, penanggalan Hijriyah juga digunakan oleh seluruh negeri yang telah merdeka
di dalam Islam. Kalau sebuah negeri telah merdeka di dalam Islam, ditandai
dengan digunakannya penanggalan Hijriyah sebagai almanak resmi yang sama untuk
seluruh Negara Islam” terang Shafiq padaku yang tidak terlalu mengerti mengenai
Astronomi Islam.
Aku
adalah seorang ilmuwan di bidang obat-obatan terutama mempelajari obat-obatan
yang berasal dari bahan alam. Allah mempertemukanku dengan Shafiq enam tahun
lalu pada sebuah symposium Masyarakat Ekonomi Islam di Banda Aceh. Ia adalah
seorang mahasiswa pada jurusan Astronomi di Universitas Teheran, Iran. Allah
juga yang menentukan jalanku di dalam Islam dengan menjadikan Shafiq sebagai
suamiku yang mampu untuk memimpinku di dalam Islam.
Semenjak
itu aku langsung menggunakan penanggalan Hijriyah. Hal tersebut juga seperti
menandakan kalau aku telah benar-benar Hijrah. Lillaahi ta’alaa semoga berada
di jalan Allah.
Kembali
aku cek beberapa hasil semaian bunga Kemuning yang aku semai beberapa minggu
lalu. Sudah tumbuh beberapa daun baru. Awal bulan depan mungkin sudah dapat aku
pindahkan dari polybag ke dalam pot bunga. Ummi menyemangatiku untuk belajar
gardening. Kemarin ia sempat bercerita padaku ingin menanam beberapa tanaman
obat. Untuk kebutuhan sehari-hari di rumah. Kadang-kadang kalau batuk atau
demam, lebih baik membuat pengobatan sendiri di rumah.
Aku
senang kalau Ummi membuatkan teh jahe dengan madu atau seduhan dari chamomile.
Biasanya kalau sedang minum teh bersama Ummi, obrolan-obrolan dapat terdengar
lebih hangat. Termasuk tentang pernikahanku dan Shafiq dan mengapa setelah dua
tahun pernikahan kami, aku dan Shafiq belum merencanakan untuk memiliki anak.
Shafiq
sudah menyelesaikan studinya di bidang Astronomi empat tahun lalu. Semenjak itu
ia pulang dari Teheran lalu pindah ke Sigli. Ia menetapkan untuk mukim di Meunasah
Blang Cot dan diangkat menjadi muadzhin pada Mesjid yang ada disana. Belajar
pada Imam yang ada di masjid tersebut sambil juga membantu menetapkan Hilal,
mengamati peredaran bulan, menentukan musim dan menetapkan penanggalan Islam
serta tanggal-tanggal penting dalam kalender Hijri.
“Apa
jauh-jauh ke Teheran memang untuk belajar jadi muadzhin?” tanyaku padanya sambil
memetik daun-daun tunas labu untuk masakan makan malam.
“Ya.
Dengan latar belakang yang mungkin harus aku jelaskan bertahun-tahun tentang
mengapa seorang lulusan sarjana berakhir menjadi seorang muadzhin” jawab Shafiq
sambil memotong rumput untuk memberi makan sapi dan kuda yang dipeliharanya.
Aku melihatnya seperti koboy yang ada di cerita-cerita Amerika lama. Mengenakan
flannel, celana jeans dan boots antibanjir.
“Apa
kamu harus kuliah terus di Swiss agar dapat belajar menanam jahe?” ujarnya
tiba-tiba.
Shafiq
ingin agar aku segera menyelesaikan studiku di Basel, kemudian tinggal
bersamanya di Sigli. Tetapi sampai sekarangpun studi akademisku masih belum
selesai dan aku merencanakan untuk mendirikan lembaga penelitian obat bahan
alam di Banda Aceh. Hal ini membuat Shafiq marah kepadaku. Ia ingin agar
setelah menikah, aku tinggal bersamanya di rumah untuk mendidik anak-anak kami
kelak. Tidak pergi kemana-mana lagi.
“Studiku
di Basel bukan untuk belajar menanam jahe” ujarku kesal.
Aku
berjalan pelan ke dapur dan memanaskan air untuk membuat teh. Rumah ini dibuat
Shafiq untukku. Halamannya luas, sebagian aku tanami dengan herba peugaga dan tanaman
sereh atau Cymbopogon yang aku
gunakan dalam riset penelitianku. Chamomile, jahe dan beberapa jenis basil juga
sudah mulai tumbuh di halaman pelataran depan. Tinggal di pedesaan memang
menyenangkan. Tetapi menurutku, dengan pendidikan yang baik seharusnya Shafiq
bisa mendapatkan kedudukan baik di kantor pemerintahan.
Studiku
di Geneva juga belum selesai. Maksudku, aku ingin agar aku dan Shafiq dapat tinggal
di Banda Aceh. Dia dapat bekerja sebagai guru atau dosen sedangkan aku merintis
laboratorium penelitian tanaman obat. Sementara rumah dan peternakan di Sigli
dapat diurus oleh orang lain. Tapi Shafiq benar-benar bersikeras untuk tinggal
di Sigli dan mengurus sapi-sapinya. Aku tidak tahu bagaimana memberikannya
pengertian yang baik agar tidak timbul kesalahpahaman.
Karena
hal ini keinginan kami untuk dapat memiliki anak terus tertunda. Aku masih
melanjutkan studiku pada University of Basel sambil berusaha untuk mendirikan laboratorium
penelitian tanaman obat di Banda Aceh, aku masih melanjutkan kuliah.
Berkali-kali aku menyarankan kepada Shafiq untuk coba melamar kerja di
pemerintahan dan tinggal di Banda Aceh agar dapat menjadi dosen karena masa
depannya akan lebih cerah, kami pun dapat memutuskan untuk menetap di Banda
Aceh. Tidak seperti sekarang, aku di Banda Aceh dan Shafiq di Sigli. Bagaimana
kami dapat lebih fokus untuk mendidik anak-anak kami kelak.
Tetapi
kemudian Shafiq malah memutuskan untuk tinggal di Sigli, menjadi muadzhin lalu
beternak sapi. Aku benar-benar tidak
mengerti dengan keputusannya. Sering sekali perdebatan seperti ini muncul di
antara kami dan Shafiq benar-benar keras keinginannya untuk dapat tinggal di
Sigli.
Sekarang
dia tinggal dan menetap di Sigli. Sementara aku masih mondar-mandir Medan,
Banda Aceh, Geneva dan terkadang ke kota-kota di pulau Jawa untuk coba
menawarkan beberapa buku tulisanku. Aku menulis beberapa jurnal ilmiah terutama
mengenai tanaman obat, rempah dan herba. Juga publikasi beberapa penelitianku
tentang senyawa gula dan isolasi senyawa aktif dari bahan alam. Walaupun juga mempelajari
Genetika, hal tersebut belum dapat aku kembangkan di Aceh. Sementara untuk
bekerja di Geneva sama sekali tidak diizinkan oleh Shafiq yang telah memutuskan
untuk mukim atau menetap di Aceh Sigli.
“Aku
sudah menghabiskan hidupku menjadi seorang scholar, pelajar, musafir dan peziarah
selama di Iran. Yang dicari oleh setiap muslim yang hijrah adalah tempat
masyarakat Islam dapat menetapkan mukim di dalam hukum Islam yang tegak,
syar’i. Dan hal tersebut sudah aku dapatkan di Aceh. Untuk apa pergi
kemana-mana lagi?” ujarnya sambil berjalan menghampiriku yang sedang duduk di
meja halaman samping rumah sambil menuangkan teh daun basil yang barusan aku
seduh. Aku letakkan biskuit coklat pada tatakan tehnya. Wajahku masih berusaha
meredam kekesalan karena Shafiq menyindir kuliahku, kuliah jauh di Swiss untuk
menanam jahe di kampung.
“Aku
minta maaf, bukan maksudku mengatakan studimu di Basel cuma bisa untuk menanam jahe
disini. Aku hanya ingin kamu memprioritaskan keluarga. Aku sudah sangat ingin
memiliki anak” ujar Shafiq yang mengetahui kekesalanku.
Ia
berdiri di hadapanku sambil membawa beberapa tangkai bunga mawar liar yang
banyak tumbuh di halaman belakang pada pinggir kolam rawa. Shafiq kemudian
meletakkannya di atas mejaku. Harum. Aku letakkan bunga-bunga tersebut ke dalam
vas bunga kaca yang ada di atas meja.
Aku
sangat mengerti dengan keinginannya. Aku juga seharusnya sudah merasa cukup
siap untuk menjadi seorang Ibu.
“Aku
sudah memutuskan untuk mukim, menetap dan membangun sebuah keluarga. Aku tidak
tahu apa kamu memiliki cita-cita yang sama denganku” ujarnya sambil mulai
menyeruput teh manis hangat yang aku sediakan.
“Apa
aku punya pilihan lain?” tanyaku balik kepadanya sambil menghela nafas dan
memperhatikan segerombol kemuning yang sedang berbunga. Aku tanam dua tahun
lalu sewaktu rumah ini baru dibangun.
“Ya,
tentu saja ada pilihan lain” jawab Shafiq, “Tetapi kemuning-kemuning yang kamu
tanam disini tidak punya pilihan lain jika tidak ada yang mengurus mereka”
ujarnya lagi sambil mencubit hidungku pelan.
“Mungkin
sapi-sapi dan kambingku akan memakannya” ancamnya sambil menakut-nakutiku.
Aku
kembali tersenyum sambil mengalihkan pandangan darinya, kepada segerombol bunga
Kemuning yang sedang blossom, mekar.
“Sepertinya
tidak ada pilihan lain bagi mereka” ujar Shafiq kemudian sambil mengecup
keningku lembut lalu membereskan poci teh dan gelas-gelas karena langit sudah
mulai sore dan udara juga mulai dingin dan agak mendung. Ia menyisakan
piring-piring kue untuk aku bawa masuk ke dalam.
“Ayo
masuk.., sudah sore” ujarnya kemudian.
Bunga
Kemuning hanya mekar selama beberapa hari dan langsung gugur tetapi wanginya
tertebar kemana-mana. Pada beberapa jenis kemuning ada yang tidak berhenti
blossom, bergantian pada bagian ranting dan dahan-dahan yang lain. Aku ambil
beberapa tangkai, lalu aku bawa masuk ke dalam rumah. Aku lihat Shafiq sudah
menyalakan lampu di dalam rumah.
Mekar
Kemuning.
No comments:
Post a Comment