Saturday 12 March 2016

Obrolan Rumah.



Obrolan Rumah
Shafiq mulai membangun rumah ini empat tahun lalu, waktu itu aku bilang padanya kira-kira apa bisa menyewa lahan dalam kontrak beberapa tahun di daerah yang berada di dataran tinggi atau di bawah kaki pegunungan untuk kultivasi tanaman herba yang aku perlukan dalam penelitian. Tidak aku duga ternyata Shafiq langsung membeli sebuah lahan yang masih berada dalam wilayah Meunasah Blang Cot tempat keluarga besarnya bertempat tinggal. Kemudian ia mulai tinggal disana dengan membangun sebuah rumah kecil.
Sekarang rumah tersebut sudah dibangun dengan baik. Pada lantai atasnya dibuat perpustakaan dan tempat penelitan antariksa, Shafiq seorang Astronom. Ia mengamati bintang, peredaran bulan, penentuan iklim dan musim serta pergerakan benda langit lainnya.
Beberapa peralatan laboratoriumku terlihat menyempil diantara charta-charta dinding antariksa miliknya. Shafiq bilang padaku nanti kami akan membuat laboratorium kecil di rumah kalau aku sudah menyelesaikan studi farmasiku. Berkali-kali Shafiq bilang padaku, ia akan mendidik anak-anaknya menjadi orang yang memiliki Ilmu Pengetahuan juga Agama. Pada zaman sekarang hal tersebut tidak bisa didapatkan di sekolah umum yang sistem pendidikannya tidak ditujukan untuk membentuk pribadi muslim yang kokoh.
“Aku akan mendidik anakku di rumah, memberikannya dasar pengetahuan agama yang dikuatkan dengan ilmu pengetahuan. Setelahnya ia dapat pergi dan mencari guru, memulai perjalanan hidupnya sendiri. Tetapi dasarnya, aku yang akan mendidiknya sendiri” ujarnya beberapa tahun lalu sewaktu ia merasa benar-benar kecewa dengan sistem pendidikan di Indonesia.
“Kamu yang akan mendidik anak-anakku kelak, sanggup?” tanya Shafiq padaku, waktu itu aku tidak langsung mengiyakan. Pendidikanku sendiri belum selesai bagaimana aku merasa mampu untuk dapat mendidik anak-anakku.
Sebelum memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Basel, aku berusaha untuk menyelesaikan pendidikan Farmasiku di Medan. Tetapi kurikulum yang ditawarkan disana serta kompetensinya sangat jauh dari apa yang aku inginkan. Karena itu aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Basel sambil menulis beberapa tulisan ilmiah mengenai obat-obatan juga beberapa tulisan fiksi yang berkaitan dengan kondisi sosial politik di Aceh. Selain merupakan seorang ilmuwan, aku juga seorang penulis.
Selesai shalat maghrib berjama’ah aku kemudian menyiapkan makan malam. Fillet daging ikan gabus yang ditangkap oleh Shafiq di kolam belakang. Aku goreng dengan bumbu kecap dan tumis daun labu. Juga membuat jus semangka lemon dengan daun basil segar. Hampir semua bahan makanan di rumah ini diperoleh dari halaman sendiri. Sebagian lagi dapat di peroleh di pasar yang memang agak jauh dari rumah, tetapi biasanya ada pedagang yang membawakan sayur dan ikan yang berkeliling hingga ke pelosok.
Shafiq melanjutkan tilawah setelah selesai shalat Maghrib. Setelah selesai menyiapkan makan malam, adzhan Isya kemudian berkumandang. Aku langsung berwudhu dan kemudian menunaikan shalat Isya berjama’ah berimam pada Shafiq. Biasanya ia shalat Maghrib dan Isya di masjid, tetapi karena aku baru kembali dari Geneva, ia mendirikan shalat berjama’ah di rumah.
Aku menyiapkan makan malam di meja luar, dekat dengan taman samping rumah. Dapurku penuh dengan peralatan laboratorium untuk destilasi dan kromatografi tanaman obat serta perkakas perkebunan milik Shafiq. Makan malam di meja luar menjadi pilihan yang cukup romantis dibandingkan di dapur yang penuh dengan peralatan dan perkakas.
“Kenapa tidak bisa mendirikan laboratorium penelitian di rumah saja?” tanya Shafiq padaku sambil mulai menyantap makan malamnya.
“Kalau di Banda Aceh bisa bekerja dengan banyak ilmuwan lain yang juga tertarik dalam pharmaceutical research. Kalau disini, aku hanya bisa berdiskusi tentang cincin Saturnus atau Asteroid PS10U” ujarku pada Shafiq.
“Gak pernah dengar ada Asteroid dengan nama PS10U” jawab Shafiq membantah pengetahuanku yang asal-asalan mengenai Astronomi.
“Itu nama Asteroid untukku” ujarku otoritatif.
“PS10U? Siapa yang mau kasih nama Asteroid seperti itu?” tanya Shafiq balik yang seperti pura-pura tidak mengerti dengan bahasa sandi yang aku berikan. Aku dan Shafiq sering seperti itu, menggunakan bahasa ilmiah, sandi dan kode dalam pembicaraan kami. Aku kemudian menekuk wajah dan menyeruput jus semangka basil. Juga berpura-pura tidak mengerti dengan pembicaraan kami.
“PS10U2” ujar Shafiq akhirnya.
(dibaca, ps I love you too. Red-)
Aku kemudian tersenyum kecil dan menggenggam tangannya.
“Jangan pergi kemana-mana lagi. Di Sigli juga banyak ilmuwan yang bekerja di bidang riset tanaman obat dan pangan” jawab Shafiq. Aku kemudian mengiyakan apa yang dikatakannya.
“Tapi masalahnya…” ujar Shafiq kemudian.
“Mereka bekerja untuk pemerintah Indonesia” ujar kami berdua secara bersamaan.
Aku dan Shafiq kemudian tersenyum menyadari kesamaan kami berdua. Aku dan Shafiq merupakan ilmuwan yang mendukung Kemerdekaan Aceh. Hal ini juga yang menyebabkan Shafiq enggan untuk menjadi pegawai negeri sipil, bekerja sebagai dosen di perguruan tinggi negeri dan tunduk pada pemerintah Indonesia. Walaupun sudah ada peralihan atau akuisisi kepemimpinan pada sistem pemerintahan dan kepegawaian di Aceh, tetapi kondisinya masih sangat tumpang tindih. Sangat membingungkan bagi ilmuwan seperti kami berdua terutama dalam hal penelitian yang membutuhkan keseriusan dan keadaan yang tenang.
“Apa di Banda Aceh ada ilmuwan yang dapat terang-terangan menyatakan kalau mereka mendukung Kemerdekaan Aceh? Apalagi dalam kondisi sekarang setelah kesepakatan damai telah disetujui dan semua pemimpin Aceh telah menyerah?” tanya Shafiq padaku.
“Rencana Allah tidak ada yang dapat menentukan. Ketika masih ada mereka yang ruku’ dan sujud dengan Lillaahi Ta’ala dan memohon kepada Allah untuk ditetapkan pada Fisabilillaah, kita semua akan berada pada jalan yang sama” jawabku.
“Mungkin belum ada Ilmuwan Aceh yang berani untuk menyatakan seterang-terangnya membela Kemerdekaan Aceh, tetapi aku yakin di dalam hati setiap Aneuk Nanggroe, cita-cita akan sebuah Negara Islam yang merdeka itu tidak akan pernah hilang” jawabku, “Dan setiap orang dapat berjuang, jihad di jalan Allah, dengan cara yang mereka tahu. Bekerja, belajar…, berjuang secara diplomasi atau mengangkat senjata” ujarku lagi.
“Tetapi keadaannya akan sangat sulit” ujar Shafiq sambil menuangkan air minum untukku.
“Aku belum tahu lagi bagaimana rencana ke depannya. Kalau hanya dapat memutuskan untuk menegakkan Syariah Islam di dalam Nanggroe tanpa ada diplomasi politik yang baik dengan negara-negara lain, Aceh akan seperti katak dibawah tempurung, terkungkung dan tertinggal” ujarku.
“Apa ada kabar dari Iran?” tanyaku pada Shafiq yang banyak memiliki teman-teman ilmuwan dari Iran.
“Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui, penghianat dan penghasut berada dimana-mana, menyebar terror dan membuat perpecahan di antara sesama muslim yang berusaha untuk menegakkan Syariah Islam. Aku seperti tidak melihat jalan lain, selain berusaha mempertahankan wilayah walaupun harus menjadi seperti katak dalam tempurung” ujar Shafiq. “Karena aku sudah dapat membedakan antara jalan yang gelap dan terang. Aku sudah tidak mau lagi menempuh jalan yang gelap, jalannya sudah sangat jelas untukku” terang Shafiq.
“Menetapkan mukim untuk dapat mendirikan Shalat, bersama-sama dengan muslim lainnya membentuk masyarakat Islam. Kemudian membina keluarga dan anak-anakku di dalam Islam.”
“Disini, di Aceh” ujar Shafiq. “Aku tidak tahu, apakah engkau istriku, memiliki tujuan yang sama denganku?” tanya Shafiq padaku dengan tegas.
Beberapa saat aku hanya bisa terdiam. Sangat lama untuk dapat menjawab pertanyaan Shafiq dan mungkin aku belum mampu untuk dapat menjawabnya sekarang.
Masih ada studi farmasi yang harus aku selesaikan. Ilmu yang aku peroleh hanya dapat bermanfaat jika lengkap, oleh sebab itu aku masih harus menyelesaikan studiku di bidang obat-obatan. Walaupun dalam situasi konflik politik yang masih sangat menekan. Juga seperti ada panggilan untuk dakwah, jihad dengan cara yang aku tahu, dengan menulis.
Mungkin jihadku belum sampai. Mungkin perjalanan hijrah yang harus aku tempuh masih sangat jauh. Aku sangat berharap Shafiq dapat menungguku.
“Aku tunggu..” ujar Shafiq sambil menggenggam tanganku seperti sangat mengerti dengan apa yang aku pikirkan.
Ya Allah, tetapkanlah jalan kami berdua dalam jalan-Mu. 
Ad-Dhien Al-Islam.

No comments:

Post a Comment