Saturday 12 March 2016

White Hawthorn


Murayya Blossom



Murraya Blossom
Dua hari lalu sewaktu aku mendapat telepon dari Ummi, aku bilang akan mencoba tinggal di Banda Aceh sampai bulan Februari untuk mempelajari kemungkinan mendirikan laboratorium penelitian di Banda Aceh, tetapi ternyata setelah melewati awal tahun tidak terlihat juga ada persiapan untuk pulang ke Medan, aku malah menghabiskan waktu berlama-lama di Sigli. Justru rak sepatuku malah penuh dengan beberapa pasang heels baru serta long black dress. Seharusnya kalau aku belum pasti memutuskan untuk tinggal di Banda Aceh, aku tidak perlu berbelanja banyak keperluan disana. Tetapi merepotkan sekali kalau harus menggotong wardrobe kesana kemari. Makanya aku membeli beberapa pasang pakaian dan sepatu di Banda Aceh untuk menghadiri beberapa acara formal dan resmi. Kalau di Geneva biasanya disebut Little Black Dress. Tetapi di Banda Aceh, jadi Long Black Dress. Juga beberapa gaun panjang yang aku beli untuk acara-acara sosial di Banda Aceh. Evening Garden Party disini juga harus mengenakan gaun panjang dan tentu saja jilbab. Aku mungkin akan terlihat sangat aneh jika mengenakan summer sackdress dan flip flop, walaupun di Banda Aceh sepanjang tahun adalah Summer. Kecuali pada saat curah hujan sangat tinggi dan waktu-waktu seperti itu aku hanya ingin berada di rumah dengan segelas teh hangat.
Karena waktu sepertinya sama sekali tidak beranjak ketika aku berada bersama Shafiq disini.
Di Rumah.
Beberapa bibit kemuning yang diberikan Ummi sudah aku semai awal tahun lalu. Tahun ini secara pribadi aku telah memutuskan untuk menggunakan penanggalan Hijri. Hal tersebut disarankan oleh Shafiq yang mempelajari Astronomi.
“Pelajarilah hilal bulan, lebih tepat tanpa harus menggunakan teropong bintang ataupun teleskop. Hanya dengan melihat bentuk bulan, kita dapat langsung memperkirakan tanggal. Gunakan penanggalan Hijri” ujar Shafiq tahun lalu ketika ia sedang berada di Gayo untuk pengamatan hilal.
“Selain itu, penanggalan Hijriyah juga digunakan oleh seluruh negeri yang telah merdeka di dalam Islam. Kalau sebuah negeri telah merdeka di dalam Islam, ditandai dengan digunakannya penanggalan Hijriyah sebagai almanak resmi yang sama untuk seluruh Negara Islam” terang Shafiq padaku yang tidak terlalu mengerti mengenai Astronomi Islam.
Aku adalah seorang ilmuwan di bidang obat-obatan terutama mempelajari obat-obatan yang berasal dari bahan alam. Allah mempertemukanku dengan Shafiq enam tahun lalu pada sebuah symposium Masyarakat Ekonomi Islam di Banda Aceh. Ia adalah seorang mahasiswa pada jurusan Astronomi di Universitas Teheran, Iran. Allah juga yang menentukan jalanku di dalam Islam dengan menjadikan Shafiq sebagai suamiku yang mampu untuk memimpinku di dalam Islam.
Semenjak itu aku langsung menggunakan penanggalan Hijriyah. Hal tersebut juga seperti menandakan kalau aku telah benar-benar Hijrah. Lillaahi ta’alaa semoga berada di jalan Allah.
Kembali aku cek beberapa hasil semaian bunga Kemuning yang aku semai beberapa minggu lalu. Sudah tumbuh beberapa daun baru. Awal bulan depan mungkin sudah dapat aku pindahkan dari polybag ke dalam pot bunga. Ummi menyemangatiku untuk belajar gardening. Kemarin ia sempat bercerita padaku ingin menanam beberapa tanaman obat. Untuk kebutuhan sehari-hari di rumah. Kadang-kadang kalau batuk atau demam, lebih baik membuat pengobatan sendiri di rumah.
Aku senang kalau Ummi membuatkan teh jahe dengan madu atau seduhan dari chamomile. Biasanya kalau sedang minum teh bersama Ummi, obrolan-obrolan dapat terdengar lebih hangat. Termasuk tentang pernikahanku dan Shafiq dan mengapa setelah dua tahun pernikahan kami, aku dan Shafiq belum merencanakan untuk memiliki anak.
Shafiq sudah menyelesaikan studinya di bidang Astronomi empat tahun lalu. Semenjak itu ia pulang dari Teheran lalu pindah ke Sigli. Ia menetapkan untuk mukim di Meunasah Blang Cot dan diangkat menjadi muadzhin pada Mesjid yang ada disana. Belajar pada Imam yang ada di masjid tersebut sambil juga membantu menetapkan Hilal, mengamati peredaran bulan, menentukan musim dan menetapkan penanggalan Islam serta tanggal-tanggal penting dalam kalender Hijri.
“Apa jauh-jauh ke Teheran memang untuk belajar jadi muadzhin?” tanyaku padanya sambil memetik daun-daun tunas labu untuk masakan makan malam.
“Ya. Dengan latar belakang yang mungkin harus aku jelaskan bertahun-tahun tentang mengapa seorang lulusan sarjana berakhir menjadi seorang muadzhin” jawab Shafiq sambil memotong rumput untuk memberi makan sapi dan kuda yang dipeliharanya. Aku melihatnya seperti koboy yang ada di cerita-cerita Amerika lama. Mengenakan flannel, celana jeans dan boots antibanjir.
“Apa kamu harus kuliah terus di Swiss agar dapat belajar menanam jahe?” ujarnya tiba-tiba.
Shafiq ingin agar aku segera menyelesaikan studiku di Basel, kemudian tinggal bersamanya di Sigli. Tetapi sampai sekarangpun studi akademisku masih belum selesai dan aku merencanakan untuk mendirikan lembaga penelitian obat bahan alam di Banda Aceh. Hal ini membuat Shafiq marah kepadaku. Ia ingin agar setelah menikah, aku tinggal bersamanya di rumah untuk mendidik anak-anak kami kelak. Tidak pergi kemana-mana lagi.
“Studiku di Basel bukan untuk belajar menanam jahe” ujarku kesal.
Aku berjalan pelan ke dapur dan memanaskan air untuk membuat teh. Rumah ini dibuat Shafiq untukku. Halamannya luas, sebagian aku tanami dengan herba peugaga dan tanaman sereh atau Cymbopogon yang aku gunakan dalam riset penelitianku. Chamomile, jahe dan beberapa jenis basil juga sudah mulai tumbuh di halaman pelataran depan. Tinggal di pedesaan memang menyenangkan. Tetapi menurutku, dengan pendidikan yang baik seharusnya Shafiq bisa mendapatkan kedudukan baik di kantor pemerintahan.
Studiku di Geneva juga belum selesai. Maksudku, aku ingin agar aku dan Shafiq dapat tinggal di Banda Aceh. Dia dapat bekerja sebagai guru atau dosen sedangkan aku merintis laboratorium penelitian tanaman obat. Sementara rumah dan peternakan di Sigli dapat diurus oleh orang lain. Tapi Shafiq benar-benar bersikeras untuk tinggal di Sigli dan mengurus sapi-sapinya. Aku tidak tahu bagaimana memberikannya pengertian yang baik agar tidak timbul kesalahpahaman.
Karena hal ini keinginan kami untuk dapat memiliki anak terus tertunda. Aku masih melanjutkan studiku pada University of Basel sambil berusaha untuk mendirikan laboratorium penelitian tanaman obat di Banda Aceh, aku masih melanjutkan kuliah. Berkali-kali aku menyarankan kepada Shafiq untuk coba melamar kerja di pemerintahan dan tinggal di Banda Aceh agar dapat menjadi dosen karena masa depannya akan lebih cerah, kami pun dapat memutuskan untuk menetap di Banda Aceh. Tidak seperti sekarang, aku di Banda Aceh dan Shafiq di Sigli. Bagaimana kami dapat lebih fokus untuk mendidik anak-anak kami kelak.
Tetapi kemudian Shafiq malah memutuskan untuk tinggal di Sigli, menjadi muadzhin lalu beternak sapi.  Aku benar-benar tidak mengerti dengan keputusannya. Sering sekali perdebatan seperti ini muncul di antara kami dan Shafiq benar-benar keras keinginannya untuk dapat tinggal di Sigli.
Sekarang dia tinggal dan menetap di Sigli. Sementara aku masih mondar-mandir Medan, Banda Aceh, Geneva dan terkadang ke kota-kota di pulau Jawa untuk coba menawarkan beberapa buku tulisanku. Aku menulis beberapa jurnal ilmiah terutama mengenai tanaman obat, rempah dan herba. Juga publikasi beberapa penelitianku tentang senyawa gula dan isolasi senyawa aktif dari bahan alam. Walaupun juga mempelajari Genetika, hal tersebut belum dapat aku kembangkan di Aceh. Sementara untuk bekerja di Geneva sama sekali tidak diizinkan oleh Shafiq yang telah memutuskan untuk mukim atau menetap di Aceh Sigli.
“Aku sudah menghabiskan hidupku menjadi seorang scholar, pelajar, musafir dan peziarah selama di Iran. Yang dicari oleh setiap muslim yang hijrah adalah tempat masyarakat Islam dapat menetapkan mukim di dalam hukum Islam yang tegak, syar’i. Dan hal tersebut sudah aku dapatkan di Aceh. Untuk apa pergi kemana-mana lagi?” ujarnya sambil berjalan menghampiriku yang sedang duduk di meja halaman samping rumah sambil menuangkan teh daun basil yang barusan aku seduh. Aku letakkan biskuit coklat pada tatakan tehnya. Wajahku masih berusaha meredam kekesalan karena Shafiq menyindir kuliahku, kuliah jauh di Swiss untuk menanam jahe di kampung.
“Aku minta maaf, bukan maksudku mengatakan studimu di Basel cuma bisa untuk menanam jahe disini. Aku hanya ingin kamu memprioritaskan keluarga. Aku sudah sangat ingin memiliki anak” ujar Shafiq yang mengetahui kekesalanku.
Ia berdiri di hadapanku sambil membawa beberapa tangkai bunga mawar liar yang banyak tumbuh di halaman belakang pada pinggir kolam rawa. Shafiq kemudian meletakkannya di atas mejaku. Harum. Aku letakkan bunga-bunga tersebut ke dalam vas bunga kaca yang ada di atas meja.
Aku sangat mengerti dengan keinginannya. Aku juga seharusnya sudah merasa cukup siap untuk menjadi seorang Ibu.
“Aku sudah memutuskan untuk mukim, menetap dan membangun sebuah keluarga. Aku tidak tahu apa kamu memiliki cita-cita yang sama denganku” ujarnya sambil mulai menyeruput teh manis hangat yang aku sediakan.
“Apa aku punya pilihan lain?” tanyaku balik kepadanya sambil menghela nafas dan memperhatikan segerombol kemuning yang sedang berbunga. Aku tanam dua tahun lalu sewaktu rumah ini baru dibangun.
“Ya, tentu saja ada pilihan lain” jawab Shafiq, “Tetapi kemuning-kemuning yang kamu tanam disini tidak punya pilihan lain jika tidak ada yang mengurus mereka” ujarnya lagi sambil mencubit hidungku pelan.
“Mungkin sapi-sapi dan kambingku akan memakannya” ancamnya sambil menakut-nakutiku.
Aku kembali tersenyum sambil mengalihkan pandangan darinya, kepada segerombol bunga Kemuning yang sedang blossom, mekar.
“Sepertinya tidak ada pilihan lain bagi mereka” ujar Shafiq kemudian sambil mengecup keningku lembut lalu membereskan poci teh dan gelas-gelas karena langit sudah mulai sore dan udara juga mulai dingin dan agak mendung. Ia menyisakan piring-piring kue untuk aku bawa masuk ke dalam.
“Ayo masuk.., sudah sore” ujarnya kemudian.
Bunga Kemuning hanya mekar selama beberapa hari dan langsung gugur tetapi wanginya tertebar kemana-mana. Pada beberapa jenis kemuning ada yang tidak berhenti blossom, bergantian pada bagian ranting dan dahan-dahan yang lain. Aku ambil beberapa tangkai, lalu aku bawa masuk ke dalam rumah. Aku lihat Shafiq sudah menyalakan lampu di dalam rumah.
Mekar Kemuning.

Obrolan Rumah.



Obrolan Rumah
Shafiq mulai membangun rumah ini empat tahun lalu, waktu itu aku bilang padanya kira-kira apa bisa menyewa lahan dalam kontrak beberapa tahun di daerah yang berada di dataran tinggi atau di bawah kaki pegunungan untuk kultivasi tanaman herba yang aku perlukan dalam penelitian. Tidak aku duga ternyata Shafiq langsung membeli sebuah lahan yang masih berada dalam wilayah Meunasah Blang Cot tempat keluarga besarnya bertempat tinggal. Kemudian ia mulai tinggal disana dengan membangun sebuah rumah kecil.
Sekarang rumah tersebut sudah dibangun dengan baik. Pada lantai atasnya dibuat perpustakaan dan tempat penelitan antariksa, Shafiq seorang Astronom. Ia mengamati bintang, peredaran bulan, penentuan iklim dan musim serta pergerakan benda langit lainnya.
Beberapa peralatan laboratoriumku terlihat menyempil diantara charta-charta dinding antariksa miliknya. Shafiq bilang padaku nanti kami akan membuat laboratorium kecil di rumah kalau aku sudah menyelesaikan studi farmasiku. Berkali-kali Shafiq bilang padaku, ia akan mendidik anak-anaknya menjadi orang yang memiliki Ilmu Pengetahuan juga Agama. Pada zaman sekarang hal tersebut tidak bisa didapatkan di sekolah umum yang sistem pendidikannya tidak ditujukan untuk membentuk pribadi muslim yang kokoh.
“Aku akan mendidik anakku di rumah, memberikannya dasar pengetahuan agama yang dikuatkan dengan ilmu pengetahuan. Setelahnya ia dapat pergi dan mencari guru, memulai perjalanan hidupnya sendiri. Tetapi dasarnya, aku yang akan mendidiknya sendiri” ujarnya beberapa tahun lalu sewaktu ia merasa benar-benar kecewa dengan sistem pendidikan di Indonesia.
“Kamu yang akan mendidik anak-anakku kelak, sanggup?” tanya Shafiq padaku, waktu itu aku tidak langsung mengiyakan. Pendidikanku sendiri belum selesai bagaimana aku merasa mampu untuk dapat mendidik anak-anakku.
Sebelum memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Basel, aku berusaha untuk menyelesaikan pendidikan Farmasiku di Medan. Tetapi kurikulum yang ditawarkan disana serta kompetensinya sangat jauh dari apa yang aku inginkan. Karena itu aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Basel sambil menulis beberapa tulisan ilmiah mengenai obat-obatan juga beberapa tulisan fiksi yang berkaitan dengan kondisi sosial politik di Aceh. Selain merupakan seorang ilmuwan, aku juga seorang penulis.
Selesai shalat maghrib berjama’ah aku kemudian menyiapkan makan malam. Fillet daging ikan gabus yang ditangkap oleh Shafiq di kolam belakang. Aku goreng dengan bumbu kecap dan tumis daun labu. Juga membuat jus semangka lemon dengan daun basil segar. Hampir semua bahan makanan di rumah ini diperoleh dari halaman sendiri. Sebagian lagi dapat di peroleh di pasar yang memang agak jauh dari rumah, tetapi biasanya ada pedagang yang membawakan sayur dan ikan yang berkeliling hingga ke pelosok.
Shafiq melanjutkan tilawah setelah selesai shalat Maghrib. Setelah selesai menyiapkan makan malam, adzhan Isya kemudian berkumandang. Aku langsung berwudhu dan kemudian menunaikan shalat Isya berjama’ah berimam pada Shafiq. Biasanya ia shalat Maghrib dan Isya di masjid, tetapi karena aku baru kembali dari Geneva, ia mendirikan shalat berjama’ah di rumah.
Aku menyiapkan makan malam di meja luar, dekat dengan taman samping rumah. Dapurku penuh dengan peralatan laboratorium untuk destilasi dan kromatografi tanaman obat serta perkakas perkebunan milik Shafiq. Makan malam di meja luar menjadi pilihan yang cukup romantis dibandingkan di dapur yang penuh dengan peralatan dan perkakas.
“Kenapa tidak bisa mendirikan laboratorium penelitian di rumah saja?” tanya Shafiq padaku sambil mulai menyantap makan malamnya.
“Kalau di Banda Aceh bisa bekerja dengan banyak ilmuwan lain yang juga tertarik dalam pharmaceutical research. Kalau disini, aku hanya bisa berdiskusi tentang cincin Saturnus atau Asteroid PS10U” ujarku pada Shafiq.
“Gak pernah dengar ada Asteroid dengan nama PS10U” jawab Shafiq membantah pengetahuanku yang asal-asalan mengenai Astronomi.
“Itu nama Asteroid untukku” ujarku otoritatif.
“PS10U? Siapa yang mau kasih nama Asteroid seperti itu?” tanya Shafiq balik yang seperti pura-pura tidak mengerti dengan bahasa sandi yang aku berikan. Aku dan Shafiq sering seperti itu, menggunakan bahasa ilmiah, sandi dan kode dalam pembicaraan kami. Aku kemudian menekuk wajah dan menyeruput jus semangka basil. Juga berpura-pura tidak mengerti dengan pembicaraan kami.
“PS10U2” ujar Shafiq akhirnya.
(dibaca, ps I love you too. Red-)
Aku kemudian tersenyum kecil dan menggenggam tangannya.
“Jangan pergi kemana-mana lagi. Di Sigli juga banyak ilmuwan yang bekerja di bidang riset tanaman obat dan pangan” jawab Shafiq. Aku kemudian mengiyakan apa yang dikatakannya.
“Tapi masalahnya…” ujar Shafiq kemudian.
“Mereka bekerja untuk pemerintah Indonesia” ujar kami berdua secara bersamaan.
Aku dan Shafiq kemudian tersenyum menyadari kesamaan kami berdua. Aku dan Shafiq merupakan ilmuwan yang mendukung Kemerdekaan Aceh. Hal ini juga yang menyebabkan Shafiq enggan untuk menjadi pegawai negeri sipil, bekerja sebagai dosen di perguruan tinggi negeri dan tunduk pada pemerintah Indonesia. Walaupun sudah ada peralihan atau akuisisi kepemimpinan pada sistem pemerintahan dan kepegawaian di Aceh, tetapi kondisinya masih sangat tumpang tindih. Sangat membingungkan bagi ilmuwan seperti kami berdua terutama dalam hal penelitian yang membutuhkan keseriusan dan keadaan yang tenang.
“Apa di Banda Aceh ada ilmuwan yang dapat terang-terangan menyatakan kalau mereka mendukung Kemerdekaan Aceh? Apalagi dalam kondisi sekarang setelah kesepakatan damai telah disetujui dan semua pemimpin Aceh telah menyerah?” tanya Shafiq padaku.
“Rencana Allah tidak ada yang dapat menentukan. Ketika masih ada mereka yang ruku’ dan sujud dengan Lillaahi Ta’ala dan memohon kepada Allah untuk ditetapkan pada Fisabilillaah, kita semua akan berada pada jalan yang sama” jawabku.
“Mungkin belum ada Ilmuwan Aceh yang berani untuk menyatakan seterang-terangnya membela Kemerdekaan Aceh, tetapi aku yakin di dalam hati setiap Aneuk Nanggroe, cita-cita akan sebuah Negara Islam yang merdeka itu tidak akan pernah hilang” jawabku, “Dan setiap orang dapat berjuang, jihad di jalan Allah, dengan cara yang mereka tahu. Bekerja, belajar…, berjuang secara diplomasi atau mengangkat senjata” ujarku lagi.
“Tetapi keadaannya akan sangat sulit” ujar Shafiq sambil menuangkan air minum untukku.
“Aku belum tahu lagi bagaimana rencana ke depannya. Kalau hanya dapat memutuskan untuk menegakkan Syariah Islam di dalam Nanggroe tanpa ada diplomasi politik yang baik dengan negara-negara lain, Aceh akan seperti katak dibawah tempurung, terkungkung dan tertinggal” ujarku.
“Apa ada kabar dari Iran?” tanyaku pada Shafiq yang banyak memiliki teman-teman ilmuwan dari Iran.
“Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui, penghianat dan penghasut berada dimana-mana, menyebar terror dan membuat perpecahan di antara sesama muslim yang berusaha untuk menegakkan Syariah Islam. Aku seperti tidak melihat jalan lain, selain berusaha mempertahankan wilayah walaupun harus menjadi seperti katak dalam tempurung” ujar Shafiq. “Karena aku sudah dapat membedakan antara jalan yang gelap dan terang. Aku sudah tidak mau lagi menempuh jalan yang gelap, jalannya sudah sangat jelas untukku” terang Shafiq.
“Menetapkan mukim untuk dapat mendirikan Shalat, bersama-sama dengan muslim lainnya membentuk masyarakat Islam. Kemudian membina keluarga dan anak-anakku di dalam Islam.”
“Disini, di Aceh” ujar Shafiq. “Aku tidak tahu, apakah engkau istriku, memiliki tujuan yang sama denganku?” tanya Shafiq padaku dengan tegas.
Beberapa saat aku hanya bisa terdiam. Sangat lama untuk dapat menjawab pertanyaan Shafiq dan mungkin aku belum mampu untuk dapat menjawabnya sekarang.
Masih ada studi farmasi yang harus aku selesaikan. Ilmu yang aku peroleh hanya dapat bermanfaat jika lengkap, oleh sebab itu aku masih harus menyelesaikan studiku di bidang obat-obatan. Walaupun dalam situasi konflik politik yang masih sangat menekan. Juga seperti ada panggilan untuk dakwah, jihad dengan cara yang aku tahu, dengan menulis.
Mungkin jihadku belum sampai. Mungkin perjalanan hijrah yang harus aku tempuh masih sangat jauh. Aku sangat berharap Shafiq dapat menungguku.
“Aku tunggu..” ujar Shafiq sambil menggenggam tanganku seperti sangat mengerti dengan apa yang aku pikirkan.
Ya Allah, tetapkanlah jalan kami berdua dalam jalan-Mu. 
Ad-Dhien Al-Islam.