Chapter
5
Kalau Abi sedang menggambar
desain biasanya aku duduk memperhatikan. Kadang beliau lembur sampai malam di
depan meja gambar. Agar tidak mengganggu aku diberikan mainan alat tulis
gambar, pensil besar pipih untuk menggambar mistar dan penghapus karet berwarna
putih. Aku sering menemani Abi menggambar hingga malam.
Sebelum tidur ia sering
membacakan cerita dari dalam Al-Quran, cerita tentang nabi-nabi, langit, bulan
dan bintang. Ia juga yang menanamkan tauhid dan keislaman di dalam diri kami,
anak-anaknya.
Di lingkungan sekitar kami
tinggal di Medan, banyak juga yang merupakan orang Jawa dan orang Batak.
Sebagian besar banyak yang merupakan orang Kristen atau Nasrani. Setelah Ummi
dan Abi menikah, keluarga kami tinggal dan dekat dengan beberapa keluarga Jawa.
Adik Ibuku juga ada yang menikah dengan orang Jawa. Ibuku juga memiliki teman-teman
dan keluarga angkat yang merupakan orang Jawa. Ummi juga cukup mengerti bahasa
Jawa dan cukup dekat dengan kehidupan orang-orang Jawa yang tinggal di kota Medan.
Perkembangan bisnis usaha dari
keluarga kakekku kemudian juga membangun kerjasama dengan orang-orang Jawa dan
juga Cina. Beliau memilki cukup banyak kenalan dan kolega yang merupakan orang
Cina dan orang Jawa.
Dibesarkan dalam kondisi
multikultural, aku seharusnya dapat lebih menghargai perbedaan. Walaupun
belakangan setelah kembali mengenal Islam dan pertemuanku dengan Shafiq yang
merupakan seorang Aceh menyadarkanku tentang jati diriku sebagai orang Aceh dan
seorang Muslim yang sedikit demi sedikit terkikis dalam budaya multikultural.
Aku menyalahkan kondisi permasalahan politik yang merubah tatanan sosial budaya
di Indonesia termasuk di dalam masyarakat Aceh karena hal tersebut.
Anehnya, walaupun aku adalah
seorang Aceh, Negeri Serambi Mekah dengan banyak ulama tetapi yang mengajarkan
aku mengaji pada saat aku masih kecil adalah seorang Jawa.
Mungkin karena aku dilahirkan
dan dibesarkan di kota Medan yang merupakan kota multikultural dengan
lingkungan yang banyak terdapat orang Jawa.
Setelah kembali dari Bandung,
aku kemudian melanjutkan kuliah Farmasi di Medan. Tetapi hal tersebut juga masih
tersendat-sendat karena beberapa masalah lain.
Studi di Basel berawal dari
korespenden melalui surat elektronik dan kemudian aku benar-benar berusaha agar
dapat melanjutkan kuliah Farmasi di Basel. Hal tersebut juga masih mengalami
beberapa permasalahan hingga sampai sekarang studi Farmasi yang aku ambil belum
juga selesai. Itu sebabnya aku memutuskan untuk pulang ke Aceh.
Ilmu Pengetahuan adalah hal
yang sangat tidak ternilai harganya dan setiap manusia yang berilmu tidak akan pernah
berhenti untuk belajar dimanapun ia berada.
Setelah kembali ke Aceh, aku
berusaha untuk merintis lembaga penelitian dan riset di bidang fitomedisinal
dan obat-obatan bahan alam. Tujuan utamanya memang untuk dapat mengembangkan
penelitian mengenai obat-obatan, terutama yang bersumber dari bahan alam.
Karena itu aku banyak belajar dengan teman-teman ilmuwan terutama mereka yang
mempelajari botani, biologi serta budidaya atau kultivasi. Karena riset di
bidang fitomedisinal juga sangat terkait dengan budidaya tanaman obat, aku kemudian
tertarik belajar gardening untuk kultivasi tanaman obat.
Aku sedang memulai kultivasi
beberapa tanaman obat, diantaranya adalah Centella asiatica dan Vinca rosae.
Shafiq juga tertarik dengan gardening dan kultivasi tanaman obat. Aku ingat apa
yang dia bilang sewaktu memutuskan untuk menetap di Sigli dan beternak sapi
juga bercocok tanam.
“Manusia terbuat dari tanah. Kehidupan
ada di tanah” ujarnya yang merupakan seorang Astronom dengan pengetahuan yang
mendalam mengenai angkasa, tetapi ia tidak akan pernah melupakan darimana ia
berasal. Pengetahuannya yang luas mengenai angkasa raya, tidak menyebabkannya
lupa untuk tetap berpijak di Bumi.
Pengetahuannya yang luas
mengenai langit, bintang-bintang dan bulan ternyata tidak membuatnya jauh dari
tanah.
Ardh. Earth.
Terkadang terbaca dengan
lafadz yang sama.
Bumi. Tanah.
Walaupun telah lama menetap di
Teheran untuk melanjutkan studinya di bidang Astronomi, keluarga Shafiq adalah
keluarga petani di Aceh. Ia juga tidak pernah berdiri terlalu jauh dari tanah.
Shafiq juga seorang petani, ia menanam sawi, tomat, bayam, tebu juga beternak
ikan, sapi dan kambing. Itu sebabnya setelah aku kembali dari Basel, ia
menertawakan aku yang kembali belajar bertanam jahe.
“Kehidupan ada di tanah” kata
Shafiq yang sangat aku ingat.
Ya, aku sangat setuju dengan
Shafiq. Langit terasa sangat tinggi dan luas tidak berhingga. Maha kuasa Allah
yang telah menciptakannya. Akan tetapi kehidupan, setiap degup jantung dan
regukan nafas, berasal dari tanah. Pergolakan, perjuangan, perlawanan,
peperangan dan pertikaian di antara sesama ummat manusia, tidak pernah
terpisahkan dari tanah tempat kehidupan berasal.
Seperti ironi, tetapi ada
pelajaran yang dapat aku mengerti dari kata-kata Shafiq.
Juga dengan alasan yang sama,
Shafiq memutuskan untuk membela Kemerdekaan Aceh. Perlawanannya atas hak untuk
mempertahankan Tanoh Nanggroe sebagai bangsa Aceh yang Merdeka, sebagai
pemimpin di atas tanahnya sendiri.
“Kehidupan manusia pada zaman
sekarang bergerak dengan sangat cepat. Bagaimana kalau kehidupan manusia terus
berputar sangat cepat hingga melebihi kecepatan perputaran Bumi?” tanya Shafiq
tiba-tiba kepadaku setelah shalat Subuh, ia mengamati hilal.
“Aku merasa sangat tertinggal”
jawabku pelan sambil membayangkan manusia-manusia yang bergerak sangat cepat
kesana dan kemari. Aku rasa manusia-manusia yang seperti itu, sudah seperti
tidak lagi menapak di Bumi. Dinamika kehidupan manusia semakin terasa sangat
cepat, manusia-manusia canggih. Aku memang benar-benar merasa tertinggal
disini.
Shafiq menoleh kepadaku lalu
mencium keningku dengan sayang.
“Bagaimana agar dinamika
kehidupan manusia dapat bergerak seiring dengan perputaran Bumi?” tanya Shafiq
padaku seperti seorang guru. Aku kembali menggeleng pelan. Aku rasa Shafiq
harus dapat mengerti kalau aku bukanlah seorang Astronom seperti dirinya. Kalau
ia bertanya padaku tentang bagaimana menggerus kapur dan sirih, aku mungkin
tahu.
“Apa jawaban yang dapat
menjelaskan mengenai kemegahan langit yang diberikan oleh
pengetahuan-pengetahuan di dalam Agama?” tanyanya lagi kepadaku. Aku kemudian
memeluk pinggangnya erat dan bersandar pada bahunya. Aku tidak tahu harus
menjawab apa untuk pertanyaan Shafiq.
“Shalat” jawabnya yang aku
dengar seperti perintah dan juga jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia
akan kemegahan langit.
Perintah Shalat diberikan
kepada Nabi Muhammad melalui peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Sebuah perintah kepada
ummat manusia yang didapat dari perjalanan Nabi Muhammad SAW ke langit
tertinggi. Sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia mengenai kemegahan
alam semesta.
Takbiratul Ihram. Allahu
Akbar.
Adalah Dia yang Maha Besar.
Melebihi Matahari dan Bulan dan segala sesuatu yang diciptakan antara langit
dan bumi. Dialah Allah Subhanahu Wata’alaa yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
“Tujuan dari perjalanan hidup
setiap muslim, adalah agar dapat mukim dan mendirikan Shalat. Bermasyarakat di
dalam negara yang dapat menegakkan hukum-hukum Islam. Seperti perjalanan Hijrah
nabi Muhammad SAW ke Madinah, adalah agar dapat mendirikan Shalat” ujar Shafiq.
“Seperti tujuan Kemerdekaan
Aceh, untuk mendirikan sebuah negara yang dapat menegakkan hukum-hukum Islam
dimana setiap muslim dapat merasa tenang untuk menegakkan shalat serta hidup
dalam kehidupan bermasyarakat yang dilindungi di dalam hukum-hukum Islam. Aku rasa,
hal itu adalah tujuan jihad kita sebagai seorang Aneuk Nanggroe pada masa
sekarang!” ujar Shafiq.
Aku kembali mengangguk pelan.
“Lalu apa hubungannya antara
Shalat dan Astronomi?” tanyaku pada Shafiq. Seperti ilmu pengetahuan lainnya,
Astronomi juga menyimpan banyak teka-teki dan rahasia ilmu pengetahuan yang
benar-benar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
mau mengambil pelajaran dari ciptaan-Nya.
“Hal tersebut pelajaran yang harus
ditemukan sendiri oleh setiap muslim..., kalau tidak, hilang faedahnya” ujar
Shafiq yang kemudian mulai membereskan peralatan pengamatan benda langit
miliknya kemudian memintaku untuk membuatkan sarapan sementara ia mulai
mengerjakan pekerjaannya sehari-harinya sebagai seorang petani. Mengumpulkan
rumput dan memberi makan ternak-ternaknya.
Ia bilang, usia muda sangat
disayangkan kalau hanya digunakan untuk bermalas-malasan. Pekerjaan sebagai
seorang petani mengajarkannya kesabaran dan lebih dekat dengan realitas
naturae, hal-hal yang alamiah. Realitas naturae yang sangat jauh dari
kehidupannya sebagai seorang Astronom. Realitas kosmos yang sulit untuk
terjangkau. Berbeda dengan realitas naturae yang dapat dicerna oleh indera.
Aku rasa tidak ada petani yang
memikirkan hal tersebut, perbedaan antara realitas kosmos dan realitas naturae.
Aku pikir hal tersebut akan terdengar cukup canggung jika melihat seorang
petani sayur dan pembuat obat membicarakan mengenai realitas naturae dan
realitas kosmos.
Walaupun pada dasarnya keingintahuan
adalah bagian dari sifat manusia yang merupakan makhluk Allah yang diciptakan
oleh-Nya, penuh dengan segala ketidaktahuan. Alamiahnya, setiap manusia adalah
seorang ilmuwan yang penuh keingintahuan.
Pekerjaan sebagai seorang
petani juga membuatnya dekat dengan kehidupan dan realitas sosial masyarakat di
sekitarnya.
Hal ini adalah hal yang sangat
indah setelah pikiran merumit dalam realitas kosmos yang hampa serta realitas
naturae yang nyata tetapi kadang berupa ironi pahit, hal-hal dasar mengenai dasar
kemakhlukan. Makan dan dimakan. Bunuh dan dibunuh. Membuat sebagian besar
ilmuwan lebih memilih realitas kosmos yang hampa dan kosong.
Agama menjadikan manusia
sebagai manusia.
Ketika seorang manusia
berserah diri hanya kepada-Nya. Tidak ada lagi realitas kosmos yang kosong dan
hampa juga tidak ada lagi realitas naturae yang pahit dan ironis.
Teratur.
Hal-hal kebaikan adalah hal
yang tidak alamiah. Kebaikan adalah hal yang harus diajarkan. Manusia tidak
serta merta dilahirkan dalam keadaan baik, manusia belajar untuk menjadi baik.
Subhanallaah walhamdulillaah
walaa ilaa ha illallaahu allaahu akbar.
Ia menyenangi pekerjaannya
sebagai seorang petani sayur dan peternak. Ia bilang pekerjaannya adalah
pekerjaan yang humanis.
Walaupun ia samasekali tidak
pernah meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai seorang ilmuwan di bidang
astronomi. Penelitian-penelitian mengenai antariksa tetap dilakukannya melalui
pengamatan dari laboratorium penelitian antariksa kecil di rumah kami, ia juga
tetap konsisten dalam tulisan-tulisan ilmiahnya mengenai pergerakan benda
langit.
Sebagai seorang ilmuwan di
bidang astronomi, Shafiq sangat konvensional, dia masih menganut paham
geosentris dengan pemahaman jelas yang didasarkan pada ajaran-ajaran agama
terdahulu maupun ajaran Islam. Hal tersebut membuatnya sedikit bermasalah
dengan ilmuwan-ilmuwan astronomi lain yang telah menganut paham heliosentris
termasuk dengan beberapa dosennya.
Shafiq pernah menceritakan
kepadaku tentang perdebatannya dengan salah seorang ilmuwan astronom barat
mengenai perseteruan antara geosentris dan heliosentris. Ilmuwan astronom barat
tersebut merupakan salah satu dosen di Universitas Tehran, Iran. Doktrinasi
keilmuwan barat sudah mulai kembali merangsek masuk di dalam kurikulum
pendidikan Iran walaupun telah dilakukan pembersihan ajaran sekuler pada
beberapa kepemimpinan rezim terdahulu di Iran.
Shafiq tetap bersikeras pada
kepercayaannya dengan tetap berpijak pada geosentris. Hal tersebut membuat
marah dosennya yang membuat dosennya mengatakan kepada Shafiq untuk jangan lagi
kuliah, pulang saja ke rumah.
“Go home!” kata dosennya yang
merupakan seorang ilmuwan heliosentris atau pemahaman mengenai matahari sebagai
pusat tata surya. Sedangkan Shafiq adalah seorang ilmuwan geosentris yang tetap
berusaha untuk berpijak di bumi sebagai seorang makhluk dan pengamat.
“Go to hell” kata Shafiq
membalas perkataan dosennya. Ia bilang hal tersebut bukan merupakan umpatan kepada
dosennya tetapi sebuah kejelasan, hell terhadap helium yang menjadi unsur utama
pembentukan matahari menjadi lambang sarkastik mengenai kengerian wujud neraka
dari paham heliosentris.
Entah bagaimana tapi Shafiq
tidak pernah dapat membayangkan, ia berpijak di matahari dan memperhatikan
kemegahan semesta raya. Pada kenyataannya ia tetap berpijak di bumi. Matahari,
bulan, bintang, planet dan benda-benda langit tersebut yang bergerak
berdasarkan sudut pandangnya sebagai makhluk yang berada di bumi.
Tidak berdiri sendiri.
Bergantung pada keadaan tertentu dan kondisi. Bergantung pada perbedaan sudut pandang.
Begitulah makhluk ciptaan Allah yang disebut manusia.
Berbeda dengan Allah yang Maha
Berdiri Sendiri.
Qiyaamuhu binafsiihi.
Perdebatan tersebut masih
menjadi perdebatan panjang dalam perkembangan ilmu pengetahuan hingga sekarang,
geosentris dan heliosentris.
Shafiq adalah seorang
geosentris dan dengan tetap jelas berpijak di Bumi.
Aku yang tidak mengerti
astronomi mencoba untuk memberikan pendapat. “Hal tersebut mengenai perbedaan
altitude. Altitude adalah hal yang sangat penting” ujarku kepada Shafiq.
“Ya, dan hal tersebut adalah
pilihan dari setiap manusia. Ingin mengambil sudut pandang dari surga atau
sudut pandang dari neraka?” tanyanya kepadaku.
Aku rasa perdebatan paham
geosentris dan heliosentris tidak akan pernah berhenti hingga akhir zaman. Hal
tersebut ditujukan agar manusia tetap mampu berpikir dan berusaha memahami
serta menemukan ke-MahaKuasaan Allah SWT atas kedua hal tersebut. Pada dasarnya
ketentuan atas keduanya adalah sepenuhnya berada pada kehendak Allah SWT. Tidak
ada yang dapat menentukan kepastian akan hal tersebut.
Manusia diminta untuk
berpikir.
Aku merasa sangat beruntung
memiliki seorang suami yang benar-benar dapat membimbing dan memimpinku di
dalam Islam.
Aku melihat Shafiq sedang
mengambil rumput untuk memberi makan sapi-sapi yang dipeliharanya sementara aku
menyiapkan sarapan. Aku berencana untuk pergi ke Banda Aceh beberapa hari lagi,
juga untuk bertemu dengan seorang ilmuwan disana. Aku ingin membicarakan hal
tersebut dengan Shafiq, tetapi aku tidak memiliki keberanian untuk meminta izin
kepadanya. Shafiq sudah menegaskan kepadaku bahwa ia ingin agar aku tidak pergi
kemana-mana lagi.
Tetapi aku masih memiliki
cita-cita dan tujuan dalam hidupku sendiri. Aku ingin dapat mendirikan sebuah
laboratorium penelitian obat bahan alam yang membuat perhatianku pada keluarga
menjadi terbagi. Walaupun aku tetap berusaha untuk dapat memprioritaskan
keluarga dan aku harap Shafiq dapat mengerti mengenai hal tersebut.
Hal-hal humanis.
Aku rasa banyak ilmuwan kosmik
dan juga ilmuwan natura yang sudah kehilangan hal ini. Hal-hal humanis.
Aku pikir harus ada yang
bersedia mengajarkan kembali kepada mereka mengenai hal-hal humanis.
Tegur sapa, senyum ikhlas.
Shafiq selalu menunjukkan
ketidaksetujuannya setiap aku menceritakan padanya mengenai rencanaku untuk
mendirikan lembaga penelitian obat bahan alam di Banda Aceh. Setiap kali aku
ingin membicarakan hal tersebut dengannya, ia selalu menjadi marah dan tidak
menyetujuinya. Walaupun ia tidak dapat menahan tujuan hidup dalam ikhtiarku
selama ini. Shafiq juga sangat mengenal sifatku yang keras kepala sehingga
setiap kali aku ingin membicarakan mengenai hal ini, ia selalu berusaha untuk
menghindar.
Keluarga besar Shafiq
bertempat tinggal di Sigli. Beberapa orang ada yang tinggal dekat dengan rumah
kami dan juga membantu Shafiq dalam mengurus perkebunan dan peternakan sapi.
Tetapi aku tidak bisa menjadi terlalu dekat dengan mereka, terutama karena
permasalahan komunikasi dan perbedaan bahasa. Keluarga Shafiq merupakan
keluarga Aceh asli. Tidak banyak dari mereka yang mau menggunakan Bahasa
Indonesia, sementara walaupun Abi merupakan orang Aceh, tetapi aku tidak
dibesarkan dalam budaya dan adat istiadat Aceh sehingga aku tidak fasih
berbahasa Aceh. Karena hal tersebut, aku menjadi tidak begitu dekat dengan
keluarga Shafiq walaupun usia pernikahan kami sudah lebih dari dua tahun.
Terkadang aku berkumpul juga
dengan keluarganya walaupun sulit untuk dapat membaur dan berbicara-bicara
dengan leluasa karena kendala bahasa juga permasalahan kesopanan dan tatanan
cara berbicara. Kadang aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan juga karena
kehidupanku yang agak berbeda dengan saudara-saudara perempuan dari keluarga
Shafiq yang umumnya merupakan ibu rumah tangga sehingga sulit untuk menemukan
bahan pembicaraan yang menyenangkan untuk dibicarakan bersama. Kadang aku tidak
mengerti harus membicarakan hal apa dengan mereka. Karena itu aku lebih senang
memfokuskan waktu dan perhatianku pada pekerjaan, tulisan-tulisanku serta
penelitian ilmiah yang sedang aku kerjakan.
Mungkin juga karena hal itu,
aku belum dapat memutuskan untuk benar-benar tinggal dan menetap di Sigli.
Rasanya seperti senang melihat kehidupan yang aman dan damai di kampung, tetapi
kehidupanku bukan disana. Semangat dalam memajukan penelitian ilmiah di bidang
obat-obatan yang sedang aku kembangkan, justru aku rasakan di Banda Aceh.
Mungkin aku memang benar-benar
harus dapat memisahkan antara tanggung jawab terhadap keluarga dan tanggung
jawab atas kegiatan ilmiah. Lagipula Sigli dan Banda Aceh tidak terlalu jauh,
berkali-kali aku mengatakan hal tersebut kepada Shafiq, aku dapat selalu pulang
ke Sigli walaupun kondisinya akan sangat melelahkan. Tetapi ia tetap tegas agar
aku lebih mengutamakan keluarga dibandingkan dengan pekerjaan. Hal ini
membuatku seperti menemui jalan buntu.
“Kenapa diam?” tanya Shafiq
kepadaku yang melihatku seperti tidak terlalu bersemangat menghabiskan sarapan
pagi.
“Besok aku harus ke Banda Aceh
untuk menemui beberapa orang, mengenai rencana untuk mendirikan laboratorium
penelitian” ujarku kepada Shafiq.
“Aku antar” jawabnya kemudian.
“Sekalian mengantar sejumlah pesanan sayur” ujarnya lagi.
Aku kemudian tersenyum kepadanya.
Aku bangga kepadanya. Walaupun cukup mengerti dengan kondisi politik di Aceh,
tetapi Shafiq tetap tidak mau untuk ikut berkecimpung di dalam dunia politik
dan pemerintahan.
“Pusat pemerintahan Negara
Islam berada di Mesjid bukan di gedung-gedung pemerintahan dan aku adalah
seorang muadzhin. Aku berada di dalam Mesjid dan mengetahui secara langsung
bagaimana kondisi ummat” ujarnya dengan tegas pada pembicaraan kami beberapa
waktu lalu mengenai keengganannya untuk ikut berkecimpung dalam urusan
perpolitikan di Aceh.
“Akan menemui siapa di Banda Aceh?” tanya
Shafiq kepadaku.
“Fajril Amri, aktivis Islam
juga seorang dosen” jawabku. Beberapa lama Shafiq kemudian diam.
“Pendidikan tinggi untuk ilmu
Farmasi baru dikembangkan di Aceh” ujar Shafiq kepadaku yang aku jawab dengan
anggukan, “Ilmu Farmasi yang berkembang sekarang, umumnya dimiliki oleh
ilmuwan-ilmuwan Israel dan Nasrani. Studimu di Basel juga tidak terlepas dari
doktrinasi agama tertentu bukan? Agama terkadang digunakan sebagai benteng
untuk melindungi berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk Islam dan Nasrani”
terang Shafiq.
“Tetapi banyak juga yang berkembang
dari Islam” sergahku.
“Qanun of medicine dan
beberapa Treatise atau Risalah di bidang pengobatan yang ditulis oleh ilmuwan
Islam, pernah lihat buku aslinya? Dilarang edar untuk pendidikan tinggi ilmu
obat-obatan yang sekarang dikendalikan oleh Barat” ujar Shafiq padaku, “Sudah
disadur dalam teks latin dan dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Nasrani dan Jew”
ujarnya lagi.
“Ada masa dimana ilmu
pengetahuan Islam diklaim oleh ilmuwan-ilmuwan bukan Islam dan diajarkan juga
sebagai bagian dari doktrinasi imperial” terang Shafiq, “Termasuk ilmu di
bidang kedokteran dan obat-obatan” ujarnya lagi.
“Perkembangan Ilmu Pengetahuan
dapat dikatakan adalah hasil kerjasama dari berbagai peradaban dan ilmuwan dari
berbagai bangsa. Arab menyadur pengetahuan dari Romawi yang kemudian disadur
kembali oleh orang Yunani, kemudian dikembangkan lagi oleh orang-orang Britain
dan sekarang Amerika memiliki teknologi yang paling maju. Tidak dapat dikatakan
hak atas penguasaan ilmu pengetahuan adalah milik dari golongan bangsa tertentu”
jawabku.
“Kita yang cuma, butiran
debu..” ujarku kepada Shafiq dengan intonasi salah satu lagu pop, aku berusaha
untuk melucu sambil mencoba untuk menjelaskan kedudukan ilmuwan-ilmuwan
Indonesia apalagi ilmuwan-ilmuwan Aceh di dalam kancah perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia.
Shafiq kemudian menunjukkan
pandangan yang tidak setuju dengan pendapatku. Menurutnya tidak sepantasnya
kita merasa kecil dibandingkan dengan bangsa-bangsa besar lain yang telah
memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan selama ribuan tahun.
“Allah yang menentukan
kemajuan suatu kaum dan runtuhnya suatu peradaban. Selama kita masih menjadi
kaum yang patuh kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, perlindungan dan
janji Allah atas kita” ujar Shafiq membantah sudut pandangku, sebagai, butiran
debu.
Aku kemudian mengagumi
pemahamannya yang jelas akan kedudukan Agama dan Ilmu Pengetahuan, membuat
pendapatnya sangat kokoh dan sulit untuk terbantah.
“Tenang saja.., aku cuma akan
belajar bertanam jahe kok..” ujarku berusaha menenangkan perdebatan ilmiah kami
sambil menuangkan teh hangat untuk Shafiq dan membereskan piring-piring sarapan
kami.
“Fajril Amri ini apa juga
ilmuwan Farmasi yang akhirnya belajar bertanam jahe?” tanya Shafiq padaku
dengan nada meledek juga seperti ada rasa cemburu yang ingin ditunjukkannya.
“Ya.., dia juga mempelajari
bagaimana menanam jahe” jawabku dengan agak kesal karena Shafiq kembali
mengungkit-ungkit urusan bertanam jahe.
“Aku rasa ketakutan atas
doktrinasi Barat pada ilmuwan-ilmuwan Islam ini tidak usah dibahas lagi. Apa
teropong kuadran derajat buatanmu dapat menyaingi teleskop Hubble NASA?”
tanyaku pada Shafiq karena merasa agak kesal dengan urusan bertanam jahe.
“Ya. Maha Suci Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi, juga matahari dan bulan yang tidak akan pernah
menyalahi fitrahnya. Seberapa besarpun mata ilmuwan-ilmuwan bukan muslim itu
untuk melotot menatap angkasa raya, fitrahnya matahari untuk terbit dan
bersinar setiap pagi adalah suatu ketetapan. Dan bulan juga bintang-bintang,
maha suci Allah yang telah menetapkan qadarnya sehingga aku yang hanya dengan
menggunakan sebuah teropong kuadran derajat tetap dapat mengamati kemegahan
langit dengan tetap berpijak di bumi dan tidak menjadi orang-orang yang
melampaui batas juga tidak berbuat kerusakan!” ujar Shafiq dengan serius.
Kalau sedang cemburu seperti
itu, Shafiq biasanya jadi terlihat sangat pintar dan bijaksana.
Aku dekati dia dari belakang
yang sedang duduk di depan meja makan, lalu aku peluk dan aku cium belakang
kepalanya.
“Fajril Amri ini, sebaiknya dia mampu bertanam
jahe dengan baik!” ujarnya kemudian sambil berdiri, menarikku kemudian
memelukku dengan erat. “Atau aku yang akan mengajarinya bagaimana cara bercocok
tanam!” ujarnya lagi sambil balik mencium keningku.
Hilal bulan di luar jendela
seperti mengintip dengan malu-malu.